Kondisi pandemi yang semakin terkendali mendorong para pelaku industri kreatif kembali memacu bisnisnya agar bisa pulih, tak kecuali subsektor penerbitan. Pada pandemi, banyak penerbit yang gulung tikar karena tidak bertahan. Dengan adanya momentum Hari Buku Nasional yang jatuh pada 17 Mei, Ketua Umum Ikatan Penulis Indonesia (IKAPI) Arys Hilman Nugraha menjelaskan bahwa subsektor penerbitan memang tengah mengalami banyak perubahan.
“IKAPI melakukan 2 kali survei kepada anggota terkait masalah penjualan buku. Dalam catatan kami berdasarkan hasil survei, ada sekitar 96% penerbit yang terdampak pandemi dan hanya 4% saja yang tidak mengalami pengaruh berarti. Artinya, pandemi memang sangat memukul subsektor penerbitan,” kata Arys.
Dalam survei yang IKAPI lakukan, setidaknya ada 28% persen penerbit yang tidak menerbitkan buku baru. Sementara ada 20% penerbit yang tetap menerbitkan buku baru, sekalipun tetap di bawah kapasitas biasanya. Namun, meski mengalami situasi yang berat, Arys mengisyaratkan adanya tren pertumbuhan yang terjadi pada periode 2020 hingga 2022.
“Kami optimistis 2022 adalah tahun kebangkitan industri penerbitan. Apapun nanti saluran penerbitannya, baik digital maupun tradisional. Sejauh ini, hampir 76,4% penerbit anggota IKAPI sudah berjualan secara online. Kami menganggap hal ini sebagai sebuah tantangan, tapi sekaligus peluang baru,” ucap Arys.
Tidak hanya penerbit arus utama yang mengalami dampak yang cukup signifikan, para penerbit alternatif pun demikian. Hanya saja, kata Windy Ariestanty, salah satu founder dari patjarmerah, Festival Literasi dan Pasar Buku Keliling Nusantara, para penerbit ini bisa lebih gesit bergerak saat masa sulit itu karena sejak awal mereka telah menempuh jalur-jalur tidak umum untuk berjualan, salah satunya memaksimalkan platform digital. Berjualan secara daring (online) bagi mereka bukan hal baru.
“Melakukan prapesan sebelum mencetak adalah cara yang ditempuh penerbit alternatif untuk mengendalikan jumlah dan biaya cetak. Penawaran ini biasanya dilakukan secara daring. Cara ini kemudian dilihat pula sebagai cara bertahan yang diikuti penerbit arus utama agar mereka juga bisa mengendalikan jumlah dan ongkos cetak. Saya merasa penerbit-penerbit ini lebih cepat merespons keadaan. Tapi perkara penerbitan ketika pandemi, kan, bukan sekadar cetak-mencetak. Urusan distribusi juga adalah PR besar yang belum selesai sejak sebelum pandemi bahkan sampai sekarang,” imbuh Windy.
Berdasarkan data penjualan di patjarmerah, buku kategori fiksi menjadi yang paling laris di kalangan pembaca remaja sampai dewasa muda. pada urutan kedua ada buku untuk anak, ketiga adalah non-fiksi umum, keempat buku penunjang pelajaran, dan kelima adalah buku agama atau tentang spiritualitas..
Meski dari dua lingkup penerbitan yang berbeda, baik Arys maupun Windy sepakat jika permasalahan yang harus dihadapi oleh industri penerbitan Indonesia bukan hanya ketika pandemi saja. Akses terhadap buku yang tidak merata menjadi masalah yang perlu dicari solusinya. Akses ini berdampak kepada angka minat baca masyarakat Indonesia, yang menurut data dari UNESCO, masih sangat rendah, hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang, hanya ada satu yang membaca.
“Padahal di negara seperti Finlandia, Amerika Serikat, negara lainnya, minat pada buku justru naik selama pandemi. Hal ini tidak terjadi di Indonesia. Dalam sebuah data, literasi kepada buku tidak membaik selama 2017-2018. Buku belum menjadi kebutuhan masyarakat. Hal ini juga menjadi masalah yang harus dicari solusinya,” lanjut Arys.
Selain masalah literasi, Windy dan Arys sepakat bahwa industri buku juga masih menghadapi permasalahan lama yang belum tuntas, yaitu pembajakan. Pembajakan ini menjadi salah satu yang juga memukul industri penerbitan di Indonesia ketika pandemi. Di saat para penerbit sedang putar otak agar mereka bisa bertahan, para pembajak malah terang-terangan menjual buku bajakan lewat platform digital, baik lokapasar maupun media perpesanan, seperti Whats App.
Belum lagi “perang harga” buku di lokapasar antarpenerbit dan penjual. Ketika semua meramai-ramai melakukan aktivitas perdagangan di platfrom digital. Kondisi ini kian menambah kerentanan para pelaku dan pegiat di dunia perbukuan Indonesia. Untuk itu, Windy berharap industri penerbitan bisa memperbaiki ekosistem ini, baik bersama antarpelaku dunia penerbitan dan perbukuan maupun pemerintah atau instansi terkait.
“Mempertemukan para pelaku dunia perbukuan untuk bersama-sama membahas masalah-masalah di industrinya bukan hal buruk. Menciptakan ekosistem yang sehat perlu melibatkan peran aktif seluruh pelaku di dalamnya: penulis, editor, percetakan, distributor, penjual buku, bahkan pembaca,”ucap Windy.
Jika melihat dari kontribusi subsektor penerbitan kepada PDB nasional, industri penerbitan menyumbang sekitar Rp 69,07 triliun atau sekitar 6,09% pada 2021. Menurut Direktur Film, Musik, dan Animasi, Mohammad Amin, hal itu menunjukkan adanya potensi subsektor penerbitan sebagai penggerak ekonomi nasional.
“Subsektor penerbitan sangat berperan dalam membangun kekuatan intelektualitas bangsa melalui penyediaan buku-buku berkualitas dan memunculkan penulis serta para cendekiawan,” pungkas Amin.
Di sisi lain, Indonesia memiliki para penulis yang telah mengibarkan sayapnya ke para pembaca internasional, seperti Pramoedya Ananta Toer, Eka Kurniawan dan A Fuadi. Hal tersebut memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki karya-karya mampu merebut hati pasar pembaca internasional.
“Buku-buku di Indonesia juga cukup banyak yang telah dialih wahanakan menjadi film dan meraih jumlah penonton yang banyak. Buku dapat menjadi sumber perencanaan atau pengembangan kepariwisataan di sebuah daerah. Dari buku, kita bisa memetakan dan mencari kembali potensi sebuah destinasi, untuk mengenal destinasi tersebut sekaligus memberikan ruang bagi para pelaku kreatif untuk menarasikan daerah mereka sendiri. Kerja-kerja pengalihwahanaan buku ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki konten-konten yang baik dan potensial untuk mensupport sektor/subsektor terkait,” jelas Amin.
Untuk itu, secara khusus Direktorat Film, Animasi, dan Musik telah menjalankan program yang dirasa mampu mendorong pertumbuhan subsektor penerbitan. Salah satunya adalah dengan program Nulis dari Rumah yang dijalankan untuk memberi dukungan finansial kepada para penulis di saat pandemi. Selain itu, ada juga program Aksi, Selaras, dan Sinergi (AKSILARASI) yang dibuat untuk mendampingi para pelaku kreatif dalam penciptaan dan pemanfaatan produk kreatif, termasuk subsektor penerbitan.
sumber: https://kemenparekraf.go.id/ragam-ekonomi-kreatif/hari-buku-nasional-pemulihan-industri-penerbitan-harus-mulai-dari-sekarang